Nana Supiana, Figur Birokrat di Tengah Perdebatan Demokrasi dan Meritokrasi
Banten, PojokJurnal.Com - Proses penunjukan Sekretaris Daerah (Sekda) definitif Provinsi Banten tengah menjadi sorotan publik. Bukan semata karena posisi ini adalah jabatan tertinggi dalam karier Aparatur Sipil Negara (ASN), melainkan karena dinamika naratif yang menyertainya. Sayangnya, sebagian narasi yang berkembang justru mencederai semangat profesionalisme ASN dan menggeser diskursus ke wilayah yang bias dan penuh prasangka.
Salah satu yang disayangkan adalah anggapan bahwa dukungan terbuka masyarakat terhadap salah satu kandidat kuat, Nana Supiana, dianggap sebagai beban politik bagi Gubernur atau bahkan dikaitkan dengan skenario “balas budi”. Pendekatan seperti ini tidak hanya reduktif, tapi juga melemahkan partisipasi publik yang sah dalam ruang demokrasi.
Nana Supiana bukan nama asing dalam birokrasi Banten. Rekam jejaknya terbentang panjang dalam jabatan-jabatan strategis di lingkungan Pemprov. Ia dikenal sebagai figur teknokratik yang tenang, adaptif, dan bekerja dalam diam. Ketika dukungan terhadapnya datang dari berbagai elemen—tokoh masyarakat, akademisi, hingga organisasi sipil—ini bukan sinyal intervensi, tetapi ekspresi kepercayaan.
Mengapa dukungan semacam ini justru dianggap problematik? Bukankah modal sosial dan kepercayaan publik adalah salah satu indikator penting dalam menilai kelayakan seorang pemimpin birokrasi?
Ketakutan bahwa dukungan akan berubah menjadi tekanan politik adalah kekhawatiran yang prematur. Justru dalam era tata kelola pemerintahan yang menuntut akuntabilitas dan transparansi, pejabat publik yang memiliki legitimasi ganda—legal dari kepala daerah dan moral dari publik—lebih mampu menghadirkan birokrasi yang melayani.
Perlu ditekankan, jabatan Sekda bukan posisi politik. Ini adalah jabatan karier ASN tertinggi yang seyogianya diisi melalui prinsip meritokrasi, profesionalisme, dan integritas. Maka jika Nana Supiana melalui semua tahapan seleksi sesuai sistem kepegawaian nasional dan mendapat dukungan luas, itu adalah kekuatan, bukan kerentanan.
Sudah saatnya Banten dipimpin oleh birokrat yang tak hanya kuat secara teknokratik, tetapi juga memiliki keberterimaan sosial. Dalam diri Nana, sebagian publik melihat harapan akan birokrasi yang terbuka, bersih, dan humanis.
Gubernur Andra Soni tentu memiliki hak prerogatif sekaligus tanggung jawab moral untuk memilih Sekda terbaik. Namun, bukan berarti aspirasi publik harus dikesampingkan apalagi dicurigai. Menyikapi dukungan sebagai bagian dari proses demokrasi justru memperkuat legitimasi dan memperluas basis sosial birokrasi itu sendiri.
Menjaga profesionalisme ASN bukan berarti mensterilkan mereka dari dukungan publik, melainkan memastikan bahwa setiap proses berjalan sesuai nilai-nilai meritokrasi dan transparansi. Rekam jejak dan integritas harus tetap menjadi parameter utama, bukan asumsi-asumsi tak berdasar.
Banten membutuhkan figur birokrat yang kuat dalam tata kelola, dan bersih dari prasangka. Jika Nana Supiana adalah pilihan itu, maka wajar bila publik berharap lebih dan siap mengawal bersama.
Langkah Gubernur Andra Soni dalam menempatkan figur Sekda bukan hanya soal memenuhi kebutuhan administratif, tetapi juga bagian dari visi reformasi birokrasi yang lebih besar. Dengan memilih figur yang memiliki integritas, kompetensi, dan diterima luas oleh masyarakat, Gubernur mengirimkan pesan bahwa birokrasi Banten harus berdiri di atas fondasi profesionalisme, bukan kepentingan sesaat.
Pemilihan Sekda merupakan titik krusial dalam konsolidasi tata kelola pemerintahan. Figur Sekda akan menjadi penentu denyut harian birokrasi, pengawal kebijakan strategis, sekaligus jembatan antara visi kepala daerah dan implementasi di lapangan. Jika pilihan Gubernur jatuh pada sosok seperti Nana Supiana, itu bukan sekadar keputusan administratif, tetapi langkah konkret menuju penguatan struktur birokrasi yang bersih, efektif, dan akuntabel.
Dalam konteks ini, publik perlu memberikan ruang bagi Gubernur untuk menjalankan kewenangannya secara objektif dan proporsional. Dukungan terhadap sosok tertentu bukan bentuk tekanan, melainkan partisipasi. Dan keputusan akhir yang diambil secara bijak dan independen akan menjadi fondasi penting dalam membangun pemerintahan Banten yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan kelompok tertentu.
Oleh: Dr. Budi Ilham Maliki – Akademisi dan Aktivis Kebijakan Publik, UNIBA Banten
Posting Komentar